Membedah Definisi TPPU dan Pasal yang Menjeratnya

Pembahasan mengenai TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) bukanlah hal yang asing lagi di telinga para mahasiswa, terutama mereka yang bergelut di bidang hukum serta para praktisi di kantor-kantor hukum maupun pengadilan. Namun, pemaknaan serta tafsiran pasal yang mengatur kasus pencucian uang ini masih sangat beragam. Hal ini disebabkan oleh isi pasal yang mengatur perihal pencucian uang (TPPU) yang cukup kompleks dan sulit dipahami, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran, bahkan ada yang keliru dalam memahaminya.
Sebagaimana yang tertuang dalam berita acara Mahkamah Konstitusi:
“Dalam Ruang Sidang Pleno MK, pada Selasa, 28/10/2014, Akil Mochtar sebagai pemohon dalam pengujian UU TPPU menyebut frasa ‘diketahui atau patut dapat diduganya’ yang terdapat pada Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat 1, Pasal 69, Pasal 76 ayat 1, Pasal 77, Pasal 78 ayat 1, dan Pasal 95 UU TPPU telah menimbulkan ketidakpastian hukum.”
Maka, dalam artikel ini saya akan mengupas makna atau definisi sebenarnya dari Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta bagaimana seorang pelaku dapat dijerat oleh pasal yang mengatur kejahatan ini.

Definisi Pencucian Uang (TPPU)

Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 pasal 1 ayat 1 “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”

menurut PPATK: “Pencucian uang secara sederhana adalah suatu upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang/dana yang dihasilkan dari suatu aksi kejahatan atau hasil tindak pidana.”
Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pencucian uang dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan atau menyamarkan uang kotor hasil dari tindakan ilegal agar tampak legal di mata hukum, sehingga dapat digunakan tanpa menimbulkan konsekuensi hukum bagi pelakunya.

Pasal yang Mengatur
Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), terdapat beberapa pasal yang mengatur, yaitu Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 8/2010. Ketiga pasal ini perlu dipahami secara mendalam agar dapat membedakan maksud serta cakupan hukumnya. Berikut penjelasannya:
Pasal 3 UU No. 8/2010
Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Pasal 4 UU No. 8/2010
“Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
Jika kita telaah, terdapat potensi kekeliruan dalam menafsirkan pasal-pasal tersebut, sehingga memungkinkan banyak pihak yang tidak bersalah ikut terjerat. Hal ini karena ketentuan dalam pasal tersebut cukup rentan terjadi di tengah masyarakat, terutama di kalangan yang kurang memahami regulasi hukum.

Berdasarkan pengamatan terhadap kedua pasal di atas, dapat dilihat perbedaannya:

  • Pasal 3 lebih menitikberatkan pada tindakan pelaku dalam membelanjakan atau
    mengalihkan aset hasil pencucian uang ke dalam bentuk lain agar sulit terdeteksi.
  • Pasal 4 menjelaskan bahwa uang hasil tindak pidana digunakan untuk
    membangun suatu usaha yang menghasilkan keuntungan, misalnya investasi
    atau pendirian pabrik. Dengan kata lain, pelaku menggunakan uang hasil
    kejahatan untuk menciptakan sumber pendapatan yang tampak legal.

Pasal 5 UU No. 8/2010
“Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Dalam Pasal 5, tindakan pencucian uang dapat melibatkan individu atau badan usaha yang menerima aliran dana hasil TPPU. Orang yang menerima uang atau aset tanpa mempertanyakan asal-usulnya bisa ikut terjerat pasal ini. Hal ini berisiko bagi pihak yang sebenarnya tidak bersalah, misalnya seseorang yang hanya menjalankan tugas atau menerima amanah, tetapi tanpa disadari telah menjadi bagian dari skema pencucian uang.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, 4, dan 5, seseorang yang tidak
mengetahui asal-usul uang seharusnya tetap melakukan verifikasi sebelum menerima dana atau aset, agar terhindar dari jerat hukum.

Makna Kata “Diketahuinya atau Patut Diduganya”
Frasa ini merujuk pada seseorang yang, baik secara sadar maupun tidak sadar,
menerima atau mengelola dana hasil tindak pidana pencucian uang. Seorang individu yang memiliki kemampuan menilai, memahami, dan membedakan antara tindakan yang benar atau salah seharusnya dapat mempertanyakan asal-usul dana yang diterimanya. Dengan kata lain, seseorang bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan yang diambil. Oleh karena itu, ia dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya karena keputusan tersebut merupakan hasil dari kebebasan berpikir dan kesadarannya dalam memahami hukum.
Kesimpulan
Memahami pasal-pasal yang mengatur tindak pidana pencucian uang sangat penting agar tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkannya. Perbedaan di antara Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 8/2010 harus diperhatikan dengan cermat, karena masing-masing memiliki cakupan hukum yang berbeda. Selain itu, kesadaran hukum dalam menerima atau mengelola dana harus lebih ditingkatkan agar tidak terjebak dalam kasus TPPU tanpa disadari.
Demikian pembahasan mengenai definisi TPPU dan pasal yang menjeratnya yang perlu masyarakat ketahui. Guna penjelasan atas uraian artikel hukum tersebut dan konsultasi secara gratis maupun pendampingan hukum silahkan datang ke kantor Law Firm Syamsul Munir & Partners atau bisa menghubungi ke admin kami.  

(Law Firm Syamsul Munir & Partners)

Proudly powered by Law Firm Syamsul Munir & Partners

Proses Cerai bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

sumber dari: https://www.pexels.com/search/couple%20having%20disagreement/


Proses cerai bagi PNS memiliki beberapa perbedaan dengan proses cerai bagi masyarakat umum. Hal ini dikarenakan PNS terikat dengan peraturan khusus yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian.


Peraturan yang Mengatur


Berikut adalah beberapa peraturan yang mengatur tentang proses cerai bagi PNS:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
  • Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil


Langkah-langkah Proses Cerai Bagi PNS:

  1. Membuat Surat Permohonan Izin Cerai
    • PNS yang ingin mengajukan cerai harus membuat surat permohonan izin cerai yang ditujukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) atasannya. Surat permohonan ini harus memuat alasan yang sah untuk melakukan perceraian.
  2. Mendapatkan Rekomendasi dari Atasan
    • Setelah surat permohonan izin cerai diajukan, PPK akan melakukan penelitian dan memberikan rekomendasi kepada atasannya. Rekomendasi ini akan menjadi bahan pertimbangan bagi PPK atasan dalam memberikan izin cerai.
  3. Memperoleh Izin Cerai dari PPK
    • PPK atasan memiliki kewenangan untuk memberikan atau menolak izin cerai kepada PNS. Jika izin cerai disetujui, PPK akan mengeluarkan surat izin cerai.
  4. Mengajukan Gugatan Cerai ke Pengadilan Agama
    • Setelah mendapatkan izin cerai, PNS dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Proses persidangan di Pengadilan Agama akan mengikuti aturan yang berlaku.
  5. Melaporkan Hasil Putusan Pengadilan Agama kepada PPK
    • Setelah putusan cerai dijatuhkan oleh Pengadilan Agama, PNS wajib melaporkannya kepada PPK atasannya.

Perbedaan Proses Cerai PNS dengan Masyarakat Umum:

  • PNS harus mendapatkan izin cerai dari PPK sebelum mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
  • Proses cerai bagi PNS dapat memakan waktu lebih lama karena adanya proses permohonan izin cerai.
  • PNS yang bercerai tanpa izin dapat dikenakan sanksi disiplin.


Sanksi Disiplin bagi PNS yang Bercerai Tanpa Izin:

  • Penurunan pangkat
  • Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
  • Pemberhentian tidak dengan hormat

Kesimpulan


Proses cerai bagi PNS memiliki beberapa perbedaan dengan proses cerai bagi masyarakat umum. PNS harus mengikuti peraturan yang berlaku dan mendapatkan izin cerai dari PPK sebelum mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.

Demikian uraian singkat atas penjelasan dari Proses Cerai bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang perlu masyarakat ketahui agar mengetahui proses yang harus dijalani seorang PNS dalam sebuah perceraian dalam aturan hukum. Guna penjelasan atas uraian artikel hukum tersebut dan konsultasi secara gratis maupun pendampingan hukum silahkan datang ke kantor Law Firm Syamsul Munir & Partners atau bisa menghubungi ke admin kami.  

(Law Firm Syamsul Munir & Partners)

Proudly powered by Law Firm Syamsul Munir & Partners

Perlindungan Pada Merek Terdaftar: Aturan Hukum Penggunaan Merek Tanpa Izin

Sumber dari: https://unsplash.com/photos/assorted-logo-lot-G9_Euqxpu4k


Merek merupakan identitas vital dalam dunia bisnis, berperan sebagai pembeda dan pemersatu identitas produk dan jasa di tengah lautan kompetitor. Di Indonesia, regulasi terkait merek tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek). Artikel ini akan mengupas analisis hukum merek di Indonesia, menekankan pada esensi pemahaman dan implementasi regulasi tersebut beserta pasal-pasal terkait.


Fondasi Pemahaman Atas Merek


Pada Pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU. No. 20 Tahun 2016) yang memberikan definisi bahwa merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Merek berfungsi untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan.


Sedangkan hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Namun untuk mendapatkan hak atas merek tersebut, pemilik merek harus melakukan pendaftaran di Direktorat Jenderal Kekayaan dan Merek Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Atas hak merek terdaftar tersebut memungkinkan pemilik merek untuk:

  1. Menggunakan sendiri mereknya
  2. Memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan mereknya


Perlindungan Hukum Merek: Menjaga Hak dan Kepentingan (Pasal 83)


Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:

  • Menuntut ganti rugi atas pelanggaran merek (Pasal 83 ayat 1 huruf b)
  • Menghentikan semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan mereknya tanpa hak (Pasal 83 ayat 1 huruf b) Bahwa penggunaan merek tanpa izin pemilik merek juga dapat diproses melalui hukum pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 100 Ayat (1) dan (2) UU. No. 20 Tahun 2016 yang menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 100

  1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Bahkan jika merek tersebut telah diperdagangkan baik berupa barang dan/atau jasa maka terdapat pidana tambahan sebagaimana diatur pada Pasal 102 UU. No. 20 Tahun 2016, sebagaimana diatur dibawah ini:


“Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”


Persamaan pada Pokoknya atau Keseluruhannya: Mencegah Kebingungan Konsumen


Dalam pembuatan merek, tidak dipungkiri terkadang kita menemui 2 merek yang mirip atau bahkan hampir sama. Merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar dilarang digunakan. Hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU. No. 20 Tahun 2016. Larangan atas penggunaan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dilakukan untuk menghindari kebingungan konsumen dan melindungi hak pemilik merek.

Kesimpulan:


Pemahaman dan implementasi hukum merek yang baik merupakan kunci untuk membangun ekosistem bisnis yang sehat dan kompetitif di Indonesia. Upaya edukasi, penegakan hukum, dan modernisasi sistem perlu terus dioptimalkan untuk melindungi hak para pemilik merek dan mendorong terciptanya iklim bisnis yang kondusif

Demikian uraian singkat atas penjelasan dari Perlindungan Pada Merek Terdaftar: Aturan Hukum Penggunaan Merek Tanpa Izin yang perlu masyarakat ketahui agar mengetahui pandangan hukum mengenai merek. Guna penjelasan atas uraian artikel hukum tersebut dan konsultasi secara gratis maupun pendampingan hukum silahkan datang ke kantor Law Firm Syamsul Munir & Partners atau bisa menghubungi ke admin kami.  

(Law Firm Syamsul Munir & Partners)

Proudly powered by Law Firm Syamsul Munir & Partners

Ayah Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak

https://unsplash.com/s/photos/father-and-his-son

Hak asuh anak seringkali diasumsikan sebagai hak eksklusif ibu, terutama setelah perceraian. Namun, anggapan ini keliru. Dalam beberapa situasi, ayah memiliki hak yang sama untuk mendapatkan hak asuh anak.


Landasan Hukum Hak Asuh Anak


Di Indonesia, beberapa peraturan mengatur tentang hak asuh anak, antara lain:


1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974: Pasal 41 ayat (a) menyatakan bahwa “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata untuk kepentingan anak”.


2. Kompilasi Hukum Islam (KHI): Pasal 105 huruf (a) menyatakan bahwa “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz diserahkan kepada ibunya”. Namun, huruf (b) menambahkan bahwa ” dijelaskan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya”.


3. Putusan Mahkamah Agung No. 102 K/Sip/1973: Menyebutkan bahwa ” Ibu kandung yang diutamakan khususnya bagi anak yang masih kecil karena kepentingan anak menjadi kreterium, kecuali terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anak anaknya.”.


4. SEMA No. 1 Tahun 2017 menegaskan bahwa terkait hak asuh anak dibawah umur 12 tahun dapat jatuh kepada ayahnya sepanjang dapat berdampak positif kepada anak


Kapan Ayah Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak?


Secara umum, ayah berhak mendapatkan hak asuh anak ketika:


1. Ibu terbukti tidak mampu mengasuh anak dengan baik, seperti karena keterbatasan fisik, mental, ekonomi, atau karena terlibat dalam tindakan yang membahayakan anak.


2. Terdapat kesepakatan antara kedua orang tua bahwa ayah lebih layak untuk mengasuh anak.


3. Anak berusia di atas 12 tahun dan memilih untuk diasuh oleh ayah.


Faktor yang Dipertimbangkan dalam Penentuan Hak Asuh Anak


Hakim akan mempertimbangkan berbagai faktor dalam menentukan siapa yang lebih layak mendapatkan hak asuh anak, antara lain:

1. Kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhan anak.

2. Ketersediaan waktu dan sabaran untuk mengasuh anak.

3. Keterikatan emosional antara anak dan orang tua.

4 .Lingkungan tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi anak

5. Pendekatan pengasuhan yang sesuai dengan kebutuhan anak.

Pentingnya Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak

Peran ayah dalam pengasuhan anak sama pentingnya dengan peran ibu. Ayah memberikan figur laki-laki yang positif, mengajarkan nilai-nilai moral, dan membantu anak mengembangkan identitasnya.


Kesimpulan


Ayah berhak mendapatkan hak asuh anak jika terbukti mampu memberikan pengasuhan yang terbaik bagi anak. Keputusan hak asuh anak tidak boleh didasarkan pada stereotip gender, melainkan pada kepentingan terbaik anak.

Demikian uraian singkat atas penjelasan dari Ayah Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak yang perlu masyarakat ketahui agar mengetahui hak asuh seorang ayah atas anaknya. Guna penjelasan atas uraian artikel hukum tersebut dan konsultasi secara gratis maupun pendampingan hukum silahkan datang ke kantor Law Firm Syamsul Munir & Partners atau bisa menghubungi ke admin kami.  

(Law Firm Syamsul Munir & Partners)

Proudly powered by Law Firm Syamsul Munir & Partners

Pencemaran Nama Baik: Ancaman Hukum dan Pentingnya Kesdaran Hukum

Sumber: https://www.freemalaysiatoday.com/category/opinion/2016/06/25/kenapa-asyik-salahkan-cina/

Pencemaran nama baik adalah tindakan yang termasuk dalam kategori penghinaan, merendahkan, ataupun menyebarkan informasi yang tidak benar terkait reputasi seseorang, kelompok, ras, agama, ataupun golongan tertentu. tindakan ini tergolong tindak pidana sebab dapat merugikan orang lain sehingga pelakunya dapat dihukum.

Saat ini pencemaran nama baik sangat cepat terjadi dan menyebar sebab dengan mudahnya masyarakat mengakses informasi di media sosial. Kecepatan memperoleh informasi ini tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif bagi para penggunanya.

Kasus pencemaran nama baik masih sering terjadi di Indonesia, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Tindakan ini tidak hanya merusak reputasi seseorang, tetapi juga bisa berujung pada konsekuensi hukum yang serius. Dalam sistem hukum Indonesia, pencemaran nama baik dan fitnah diatur dalam beberapa pasal penting, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kedua peraturan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak individu agar tidak dirugikan oleh informasi yang tidak benar atau merendahkan.

Lalu, apa saja penyebab terjadinya pencemaran nama baik?

Penyebab terjadinya pencemaran sangatlah beragam, faktor-faktor penyebab pencemaran nama baik antara lain: 

1. Permasalahan pribadi

Permasalahan pribadi atau Konflik seringkali menjadi pemicu seseorang menyebarkan informasi yang merugikan orang lain. 

2. Kepentingan Bisnis

Pencemaran nama baik dalam dunia bisnis merupakan hal yang sering terjadi, hal ini biasanya dilakukan untuk menjatuhkan lawan bisnis atau menurunkan reputasi mereka.

3. Kurang melek hukum

Ketidaktahuan akan hukum merupakan pemicu terjadinya pencemaran nama baik. Biasanya orang tersebut tidak tahu menahu dampak hukum akibat mencemarkan nama baik.

4. Penyalahgunaan Media Sosial (Medsos)

Begitu cepatnya akses penyebaran informasi menjadikan semakin mudah dalam menyebarkan hal yang negatif termasuk pencemaran nama baik, selain itu informasi yang tidak disaring terlebih dahulu serta dicari kebenarannya kerap diabaikan oleh pengguna media sosial, sehingga menimbulkan kerugian bagi korban yang terdampak pencemaran nama baik.

Dalam hukum, pencemaran nama baik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya pada Pasal 310 dan 311, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Pasal 27 ayat (3) yang kemudian mengalami perubahan menjadi pasal 27A dan 27B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024.

Dalam Pasal 310 KUHP, jelas disebutkan bahwa siapa saja yang dengan sengaja menyerang nama baik seseorang dengan tuduhan yang tidak benar, bisa dikenakan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda. Jika pencemaran tersebut dilakukan dengan cara tulisan atau gambar yang disebarkan di tempat umum, hukuman penjaranya bisa lebih lama, yakni satu tahun empat bulan.

Lebih lanjut, Pasal 311 KUHP mengatur tentang fitnah, yaitu tuduhan yang dibuat dengan sengaja tanpa bukti yang sah, yang bertujuan untuk merusak nama baik seseorang. Jika tuduhan tersebut terbukti tidak benar, pelaku dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Di era digital ini, penyebaran informasi begitu cepat melalui media sosial dan platform digital lainnya. Hal ini membuat kasus pencemaran nama baik semakin banyak terjadi. Oleh karena itu selain KUHP, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun mengatur pencemaran nama baik di dunia maya.

Hadirnya UU ITE menjadi sorotan banyak orang, beberapa pakar menilai masih terdapat multitafsir terutama terkait Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, pertama tidak adanya batasan norma yang jelas terhadap frasa “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan” dan tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud “penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik”. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya dikarenakan perbedaan hukuman yang dijatuhkan dalam beberapa putusan hakim karena setiap hakim memiliki penafsiran yang berbeda. Kedua, pasal ini tak jarang digunakan sebagai alat kriminalisasi dengan korban masyarakat biasa, aktivis, orang yang awam hukum dan sebagainya sehingga kebebasan berpendapat sangat terasa dibatasi tanpa batasan yang jelas. Beragam permasalahan menjadikan pasal 27 ayat 3 mengalami revisi. Beberapa muatan yang semula tidak dijelaskan secara rinci kini diubah dengan hadirnya undang-undang nomor 1 tahun 2024.

Lahirnya SKB UU ITE menjadikan titik terang bagi penegakan hukum di Indonesia.  Beberapa muatan dijelaskan dalam SKB antara lain:

1.    Bukan sebuah delik pidana jika konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan atau kata-kata tidak pantas, juga jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan. Artinya, bukanlah delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

2.    Bukan merupakan delik penghinaan dan atau pencemaran nama baik jika konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas. Ya, artinya Bukan merupakan delik penghinaan atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor, grup kampus atau institusi bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor, grup kampus atau institusi pendidikan.

3.    Fokus pemidanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja (dolus) dengan maksud mendistribusikan/mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum (Pasal 310 KUHP). Kriteria “supaya diketahui umum” dapat dipersamakan dengan “agar diketahui publik”. Umum atau publik sendiri dimaknai sebagai kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal. Kriteria diketahui “umum” bisa berupa unggahan pada akun sosial media dengan pengaturan bisa diakses publik, unggahan konten atau mengajarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat grup terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan, serta lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa join serta mengetahuinya.

Selain itu, dalam SKB UU ITE juga dijelaskan bahwa dalam hal pengaduan hanya dapat dilakukan oleh korban atau kuasa hukumnya, berdasarkan Pasal 27A UU Nomor 1 Tahun 2024 dalam undang-undang tersebut, siapa pun yang secara sengaja mencemarkan nama baik orang lain dengan menuduhkan sesuatu, dengan tujuan agar tuduhan tersebut diketahui oleh khalayak luas, dapat dikenakan sanksi pidana. Tindakan ini melibatkan penggunaan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang disampaikan melalui sistem elektronik dan sanksi yang diatur mencakup hukuman penjara dengan durasi maksimal dua tahun dan atau denda sebesar Rp400 juta. Tindak pidana ini juga merupakan tindak pidana aduan artinya hanya pihak korban atau individu yang terkena dampak langsung dari tindak pidana yang berhak mengajukan pengaduan, sedangkan badan hukum tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tuntutan atas kasus tersebut.

Begitu juga menurut pasal 27 B ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2024, istilah “ancaman pencemaran” merujuk pada tindakan yang bertujuan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan cara menuduhkan sesuatu, disertai maksud agar tuduhan tersebut diketahui oleh khalayak umum. Adapun ancamannya pelaku dapat dikenakan hukuman pidana berupa penjara hingga maksimal 6 tahun dan atau denda sebesar Rp1 miliar.

Pentingnya Kesadaran Hukum dalam Menghindari Pencemaran Nama Baik

Penyebaran informasi di media sosial, tanpa disaring terlebih dahulu, sering kali menjadi pemicu pencemaran nama baik. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa informasi yang mereka sebarkan bisa saja melanggar hukum, karena tidak semua orang memahami betul apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik menurut hukum. Oleh karena itu, penting untuk selalu berhati-hati dalam memberikan informasi, terlebih jika itu dapat merugikan orang lain.

Hukum memberikan perlindungan terhadap setiap individu dari tindakan yang dapat merusak kehormatan atau reputasinya. Namun, setiap orang juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang disebarkan adalah benar dan tidak menyesatkan. Dalam konteks ini, media sosial dan platform digital harus digunakan dengan bijak, untuk menghindari dampak buruk baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Pencemaran nama baik dan fitnah bukan hanya soal merusak reputasi, tetapi juga bisa berujung pada hukuman pidana yang cukup berat. Dalam sistem hukum Indonesia, baik dalam KUHP maupun UU ITE, sudah diatur dengan jelas tentang ancaman hukum bagi pelaku pencemaran nama baik. Oleh karena itu, setiap individu harus lebih berhati-hati dalam bertindak, terutama di dunia maya, dan menjaga agar tidak menyebarkan informasi yang dapat merugikan orang lain. Kesadaran akan hukum ini sangat penting agar kita bisa saling menghormati dan menjaga reputasi di dunia yang semakin terhubung ini.

Demikian uraian singkat atas penjelasan dari tindak pidana pencemaran nama baik yang perlu masyarakat ketahui agar terhindar dari ancaman pidana tersebut. Guna penjelasan atas uraian artikel hukum tersebut dan konsultasi secara gratis maupun pendampingan hukum silahkan datang ke kantor Law Firm Syamsul Munir & Partners atau bisa menghubungi ke admin kami.  

(Law Firm Syamsul Munir & Partners)

Proudly powered by Law Firm Syamsul Munir & Partners

Hak Pengelolaan Tanah dan Proses Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB): Tata Cara dan Pertimbangan Hukum

Hak Pengelolaan (HPL) adalah bentuk hak atas tanah yang unik di Indonesia, berbeda dari Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP). HPL, sebagai bagian dari tanah negara, memberikan pemegangnya wewenang untuk mengelola tanah tanpa menjadi pemilik mutlak.

HPL dan Pemberian Hak Atas Tanah

HPL, yang merupakan bagian dari tanah negara, diberikan melalui delegasi kewenangan Hak Menguasai Negara (HMN) kepada pemegang HPL. Ini memungkinkan pemegangnya untuk mengelola sebagian tanah negara sambil tetap menjadi milik negara. Berbeda dari hak atas tanah lainnya, HPL tidak memberikan kepemilikan mutlak tetapi memberikan hak untuk mengelola dan memanfaatkan tanah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.

HGB di Atas HPL

Di atas HPL, berbagai hak atas tanah dapat diberikan, termasuk Hak Guna Bangunan (HGB). Prosedur untuk mentransfer penggunaan tanah di bawah HPL ke pihak ketiga diatur, dengan menekankan pentingnya perjanjian tertulis. Kerangka hukum ini memastikan prosedur dan kondisi yang jelas untuk pemberian hak atas tanah di atas HPL, memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat.

Batas Waktu HGB dan Perpanjangan

Pasal 37 dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan memiliki batas waktu tertentu. Secara spesifik, HGB ini berlaku selama 30 tahun sejak diberikannya hak tersebut. Kendati demikian, ada kemungkinan perpanjangan HGB dengan batas waktu tambahan hingga maksimal 20 tahun. Proses perpanjangan ini memungkinkan pemegang HGB untuk terus memanfaatkan dan mengelola tanah tersebut setelah periode awal berakhir. Penting untuk dicatat bahwa perpanjangan HGB dapat dilakukan dengan prosedur tertentu dan memerlukan persetujuan dari pihak yang berwenang. Seiring dengan itu, pemerintah juga memberikan opsi untuk memperbarui HGB, yang dapat dilakukan untuk jangka waktu maksimal 30 tahun, memberikan fleksibilitas kepada pemegang HGB dalam mengelola aset tanahnya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Proses Perpanjangan dan Persetujuan HPL

Pada Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (PP 18 Tahun 2021) disebutkan pemohon dapat mengajukan perpanjangan setelah tanah digunakan sesuai tujuan pemberian hak atau sebelum berakhirnya masa HGB maksimal 2 tahun sebelum masa berlaku HGB berakhir. Bagi Sertifikat Satuan Rumah Susun dalam bentuk HGB diatas HPL dapat diberikan bersamaan dengan perpanjangan Sertifikat tersebut setelah memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Sehingga Sertifikat HGB di atas tanah HPL bisa diperpanjang dan diperbarui setelah mendapat SLF. Jangka waktu perpanjangan dan pembaruan HGB di Tanah Hak Pengelolaan dapat diberikan jika tanahnya telah digunakan sesuai dengan tujuan pemberian hak. Seluruh proses perpanjangan dan pembaruan ini wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan.

Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) dapat diperpanjang atau diperbaharui melalui permohonan yang diajukan oleh pemegang HGB. Namun, proses ini harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pemegang HPL, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 PP 18 Tahun 2021. Dengan kata lain, perpanjangan atau pembaruan HGB di atas HPL harus melalui persetujuan pemegang HPL sebagai wujud kontrol atas pengelolaan tanah yang bersangkutan. Penting untuk dicatat bahwa meskipun pemohon HGB telah memperoleh persetujuan dari pemegang HPL, tidak dapat dijamin bahwa permohonan tersebut akan selalu disetujui. Jika pemegang HPL menolak memberikan persetujuan, maka jangka waktu HGB tidak akan diperpanjang atau diperbarui. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat [1] PP 18 Tahun 2021, yang menyebutkan bahwa salah satu alasan hapusnya HGB adalah berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya.

Dalam hal HGB tersebut hapus, maka tanah yang bersangkutan akan kembali ke dalam penguasaan sepenuhnya dari pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat [1] PP 18 Tahun 2021.

Pengakhiran HGB

Berbagai keadaan dapat menyebabkan pengakhiran HGB, mengembalikan tanah tersebut sepenuhnya ke dalam kendali pemegang HPL yang bersangkutan. Keadaan tersebut termasuk berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, pelepasan sukarela, konversi ke hak atas tanah lain, pelepasan untuk kepentingan umum, dan ketidakmemenuhi syarat

Persyaratan Administratif untuk Perpanjangan HGB

Persyaratan administratif untuk perpanjangan HGB mencakup mengisi formulir di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), menyertakan surat kuasa jika melalui perwakilan, fotokopi KTP dan KK, akta pendirian badan hukum, serta menyertakan sertifikat asli. Juga termasuk izin pemindahan hak jika dicantumkan dalam sertifikat dan pernyataan bebas sengketa

Langkah-langkah Proses Perpanjangan HGB

Langkah-langkahnya melibatkan pengisian formulir perpanjangan HGB, menyertakan surat kuasa jika diperlukan, melampirkan fotokopi identitas pemohon (KTP/KK) dan identitas kuasa jika ada, yang telah diverifikasi keasliannya oleh petugas loket, dan menyertakan fotokopi sertifikat asli yang akan diperpanjang. Juga perlu melampirkan SPPT dan PBB, BPHTB, serta bukti pembayaran uang pemasukan pada saat pendaftaran hak. Perlu disertakan juga surat pernyataan bebas sengketa.

Estimasi Biaya Perpanjangan HGB

Untuk mengetahui estimasi biaya perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) dengan menggunakan rumus berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002. Prosedur perhitungannya sebagai berikut.

  • Bagi jangka waktu perpanjangan HGB dengan 30 tahun.
  • Hasil pembagian tersebut dikalikan dengan 1%.
  • Hasil tersebut kemudian dikalikan dengan selisih Nilai Perolehan Tanah (NPT) dan Nilai Perolehan Tanah Tidak Kena Uang Pemasukan (NPTTKUP).
  • Hasil perkalian tersebut kemudian dikalikan dengan 50%.
  • Nilai NPT dan NPTTKUP dapat ditemukan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) tanah yang akan diperpanjang sertifikat HGB-nya.

Memahami kompleksitas Hak Pengelolaan Tanah dan proses perpanjangan HGB penting bagi pemegang tanah untuk menjelajahi lanskap hukum hak tanah di Indonesia. Mematuhi prosedur dan persyaratan yang ditetapkan memastikan proses yang transparan dan hukum yang kuat, mendorong pengelolaan dan pemanfaatan tanah yang bertanggung jawab. Guna penjelasan lebih detailya dan pendampingan hukum silahkan menghubungi kami. 

 

(Law Firm Syamsul Munir & Partners)