Ayah Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak

https://unsplash.com/s/photos/father-and-his-son

Hak asuh anak seringkali diasumsikan sebagai hak eksklusif ibu, terutama setelah perceraian. Namun, anggapan ini keliru. Dalam beberapa situasi, ayah memiliki hak yang sama untuk mendapatkan hak asuh anak.


Landasan Hukum Hak Asuh Anak


Di Indonesia, beberapa peraturan mengatur tentang hak asuh anak, antara lain:


1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974: Pasal 41 ayat (a) menyatakan bahwa “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata untuk kepentingan anak”.


2. Kompilasi Hukum Islam (KHI): Pasal 105 huruf (a) menyatakan bahwa “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz diserahkan kepada ibunya”. Namun, huruf (b) menambahkan bahwa ” dijelaskan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya”.


3. Putusan Mahkamah Agung No. 102 K/Sip/1973: Menyebutkan bahwa ” Ibu kandung yang diutamakan khususnya bagi anak yang masih kecil karena kepentingan anak menjadi kreterium, kecuali terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anak anaknya.”.


4. SEMA No. 1 Tahun 2017 menegaskan bahwa terkait hak asuh anak dibawah umur 12 tahun dapat jatuh kepada ayahnya sepanjang dapat berdampak positif kepada anak


Kapan Ayah Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak?


Secara umum, ayah berhak mendapatkan hak asuh anak ketika:


1. Ibu terbukti tidak mampu mengasuh anak dengan baik, seperti karena keterbatasan fisik, mental, ekonomi, atau karena terlibat dalam tindakan yang membahayakan anak.


2. Terdapat kesepakatan antara kedua orang tua bahwa ayah lebih layak untuk mengasuh anak.


3. Anak berusia di atas 12 tahun dan memilih untuk diasuh oleh ayah.


Faktor yang Dipertimbangkan dalam Penentuan Hak Asuh Anak


Hakim akan mempertimbangkan berbagai faktor dalam menentukan siapa yang lebih layak mendapatkan hak asuh anak, antara lain:

1. Kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhan anak.

2. Ketersediaan waktu dan sabaran untuk mengasuh anak.

3. Keterikatan emosional antara anak dan orang tua.

4 .Lingkungan tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi anak

5. Pendekatan pengasuhan yang sesuai dengan kebutuhan anak.

Pentingnya Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak

Peran ayah dalam pengasuhan anak sama pentingnya dengan peran ibu. Ayah memberikan figur laki-laki yang positif, mengajarkan nilai-nilai moral, dan membantu anak mengembangkan identitasnya.


Kesimpulan


Ayah berhak mendapatkan hak asuh anak jika terbukti mampu memberikan pengasuhan yang terbaik bagi anak. Keputusan hak asuh anak tidak boleh didasarkan pada stereotip gender, melainkan pada kepentingan terbaik anak.

Demikian uraian singkat atas penjelasan dari Ayah Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak yang perlu masyarakat ketahui agar mengetahui hak asuh seorang ayah atas anaknya. Guna penjelasan atas uraian artikel hukum tersebut dan konsultasi secara gratis maupun pendampingan hukum silahkan datang ke kantor Law Firm Syamsul Munir & Partners atau bisa menghubungi ke admin kami.  

(Law Firm Syamsul Munir & Partners)

Proudly powered by Law Firm Syamsul Munir & Partners

PENCEMARAN NAMA BAIK: ANCAMAN HUKUM DAN PENTINGNYA KESADARAN HUKUM

Sumber: https://www.freemalaysiatoday.com/category/opinion/2016/06/25/kenapa-asyik-salahkan-cina/

Pencemaran nama baik adalah tindakan yang termasuk dalam kategori penghinaan, merendahkan, ataupun menyebarkan informasi yang tidak benar terkait reputasi seseorang, kelompok, ras, agama, ataupun golongan tertentu. tindakan ini tergolong tindak pidana sebab dapat merugikan orang lain sehingga pelakunya dapat dihukum.

Saat ini pencemaran nama baik sangat cepat terjadi dan menyebar sebab dengan mudahnya masyarakat mengakses informasi di media sosial. Kecepatan memperoleh informasi ini tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif bagi para penggunanya.

Kasus pencemaran nama baik masih sering terjadi di Indonesia, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Tindakan ini tidak hanya merusak reputasi seseorang, tetapi juga bisa berujung pada konsekuensi hukum yang serius. Dalam sistem hukum Indonesia, pencemaran nama baik dan fitnah diatur dalam beberapa pasal penting, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kedua peraturan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak individu agar tidak dirugikan oleh informasi yang tidak benar atau merendahkan.

Lalu, apa saja penyebab terjadinya pencemaran nama baik?

Penyebab terjadinya pencemaran sangatlah beragam, faktor-faktor penyebab pencemaran nama baik antara lain: 

1. Permasalahan pribadi

    Permasalahan pribadi atau Konflik seringkali menjadi pemicu seseorang menyebarkan informasi yang merugikan orang lain. 

    2. Kepentingan Bisnis

    Pencemaran nama baik dalam dunia bisnis merupakan hal yang sering terjadi, hal ini biasanya dilakukan untuk menjatuhkan lawan bisnis atau menurunkan reputasi mereka.

    3. Kurang melek hukum

    Ketidaktahuan akan hukum merupakan pemicu terjadinya pencemaran nama baik. Biasanya orang tersebut tidak tahu menahu dampak hukum akibat mencemarkan nama baik.

    4. Penyalahgunaan Media Sosial (Medsos)

    Begitu cepatnya akses penyebaran informasi menjadikan semakin mudah dalam menyebarkan hal yang negatif termasuk pencemaran nama baik, selain itu informasi yang tidak disaring terlebih dahulu serta dicari kebenarannya kerap diabaikan oleh pengguna media sosial, sehingga menimbulkan kerugian bagi korban yang terdampak pencemaran nama baik.

    Dalam hukum, pencemaran nama baik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya pada Pasal 310 dan 311, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Pasal 27 ayat (3) yang kemudian mengalami perubahan menjadi pasal 27A dan 27B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024.

    Dalam Pasal 310 KUHP, jelas disebutkan bahwa siapa saja yang dengan sengaja menyerang nama baik seseorang dengan tuduhan yang tidak benar, bisa dikenakan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda. Jika pencemaran tersebut dilakukan dengan cara tulisan atau gambar yang disebarkan di tempat umum, hukuman penjaranya bisa lebih lama, yakni satu tahun empat bulan.

    Lebih lanjut, Pasal 311 KUHP mengatur tentang fitnah, yaitu tuduhan yang dibuat dengan sengaja tanpa bukti yang sah, yang bertujuan untuk merusak nama baik seseorang. Jika tuduhan tersebut terbukti tidak benar, pelaku dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

    Di era digital ini, penyebaran informasi begitu cepat melalui media sosial dan platform digital lainnya. Hal ini membuat kasus pencemaran nama baik semakin banyak terjadi. Oleh karena itu selain KUHP, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun mengatur pencemaran nama baik di dunia maya.

    Hadirnya UU ITE menjadi sorotan banyak orang, beberapa pakar menilai masih terdapat multitafsir terutama terkait Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, pertama tidak adanya batasan norma yang jelas terhadap frasa “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan” dan tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud “penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik”. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya dikarenakan perbedaan hukuman yang dijatuhkan dalam beberapa putusan hakim karena setiap hakim memiliki penafsiran yang berbeda. Kedua, pasal ini tak jarang digunakan sebagai alat kriminalisasi dengan korban masyarakat biasa, aktivis, orang yang awam hukum dan sebagainya sehingga kebebasan berpendapat sangat terasa dibatasi tanpa batasan yang jelas. Beragam permasalahan menjadikan pasal 27 ayat 3 mengalami revisi. Beberapa muatan yang semula tidak dijelaskan secara rinci kini diubah dengan hadirnya undang-undang nomor 1 tahun 2024.

    Lahirnya SKB UU ITE menjadikan titik terang bagi penegakan hukum di Indonesia.  Beberapa muatan dijelaskan dalam SKB antara lain:

    1.    Bukan sebuah delik pidana jika konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan atau kata-kata tidak pantas, juga jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan. Artinya, bukanlah delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

    2.    Bukan merupakan delik penghinaan dan atau pencemaran nama baik jika konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas. Ya, artinya Bukan merupakan delik penghinaan atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor, grup kampus atau institusi bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor, grup kampus atau institusi pendidikan.

    3.    Fokus pemidanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja (dolus) dengan maksud mendistribusikan/mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum (Pasal 310 KUHP). Kriteria “supaya diketahui umum” dapat dipersamakan dengan “agar diketahui publik”. Umum atau publik sendiri dimaknai sebagai kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal. Kriteria diketahui “umum” bisa berupa unggahan pada akun sosial media dengan pengaturan bisa diakses publik, unggahan konten atau mengajarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat grup terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan, serta lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa join serta mengetahuinya.

    Selain itu, dalam SKB UU ITE juga dijelaskan bahwa dalam hal pengaduan hanya dapat dilakukan oleh korban atau kuasa hukumnya, berdasarkan Pasal 27A UU Nomor 1 Tahun 2024 dalam undang-undang tersebut, siapa pun yang secara sengaja mencemarkan nama baik orang lain dengan menuduhkan sesuatu, dengan tujuan agar tuduhan tersebut diketahui oleh khalayak luas, dapat dikenakan sanksi pidana. Tindakan ini melibatkan penggunaan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang disampaikan melalui sistem elektronik dan sanksi yang diatur mencakup hukuman penjara dengan durasi maksimal dua tahun dan atau denda sebesar Rp400 juta. Tindak pidana ini juga merupakan tindak pidana aduan artinya hanya pihak korban atau individu yang terkena dampak langsung dari tindak pidana yang berhak mengajukan pengaduan, sedangkan badan hukum tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tuntutan atas kasus tersebut.

    Begitu juga menurut pasal 27 B ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2024, istilah “ancaman pencemaran” merujuk pada tindakan yang bertujuan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan cara menuduhkan sesuatu, disertai maksud agar tuduhan tersebut diketahui oleh khalayak umum. Adapun ancamannya pelaku dapat dikenakan hukuman pidana berupa penjara hingga maksimal 6 tahun dan atau denda sebesar Rp1 miliar.

    Pentingnya Kesadaran Hukum dalam Menghindari Pencemaran Nama Baik

    Penyebaran informasi di media sosial, tanpa disaring terlebih dahulu, sering kali menjadi pemicu pencemaran nama baik. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa informasi yang mereka sebarkan bisa saja melanggar hukum, karena tidak semua orang memahami betul apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik menurut hukum. Oleh karena itu, penting untuk selalu berhati-hati dalam memberikan informasi, terlebih jika itu dapat merugikan orang lain.

    Hukum memberikan perlindungan terhadap setiap individu dari tindakan yang dapat merusak kehormatan atau reputasinya. Namun, setiap orang juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang disebarkan adalah benar dan tidak menyesatkan. Dalam konteks ini, media sosial dan platform digital harus digunakan dengan bijak, untuk menghindari dampak buruk baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

    Pencemaran nama baik dan fitnah bukan hanya soal merusak reputasi, tetapi juga bisa berujung pada hukuman pidana yang cukup berat. Dalam sistem hukum Indonesia, baik dalam KUHP maupun UU ITE, sudah diatur dengan jelas tentang ancaman hukum bagi pelaku pencemaran nama baik. Oleh karena itu, setiap individu harus lebih berhati-hati dalam bertindak, terutama di dunia maya, dan menjaga agar tidak menyebarkan informasi yang dapat merugikan orang lain. Kesadaran akan hukum ini sangat penting agar kita bisa saling menghormati dan menjaga reputasi di dunia yang semakin terhubung ini.

    Demikian uraian singkat atas penjelasan dari tindak pidana pencemaran nama baik yang perlu masyarakat ketahui agar terhindar dari ancaman pidana tersebut. Guna penjelasan atas uraian artikel hukum tersebut dan konsultasi secara gratis maupun pendampingan hukum silahkan datang ke kantor Law Firm Syamsul Munir & Partners atau bisa menghubungi ke admin kami.  

    (Law Firm Syamsul Munir & Partners)

    Proudly powered by Law Firm Syamsul Munir & Partners

    Hak Pengelolaan Tanah dan Proses Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB): Tata Cara dan Pertimbangan Hukum

    Hak Pengelolaan (HPL) adalah bentuk hak atas tanah yang unik di Indonesia, berbeda dari Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP). HPL, sebagai bagian dari tanah negara, memberikan pemegangnya wewenang untuk mengelola tanah tanpa menjadi pemilik mutlak.

    HPL dan Pemberian Hak Atas Tanah

    HPL, yang merupakan bagian dari tanah negara, diberikan melalui delegasi kewenangan Hak Menguasai Negara (HMN) kepada pemegang HPL. Ini memungkinkan pemegangnya untuk mengelola sebagian tanah negara sambil tetap menjadi milik negara. Berbeda dari hak atas tanah lainnya, HPL tidak memberikan kepemilikan mutlak tetapi memberikan hak untuk mengelola dan memanfaatkan tanah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.

    HGB di Atas HPL

    Di atas HPL, berbagai hak atas tanah dapat diberikan, termasuk Hak Guna Bangunan (HGB). Prosedur untuk mentransfer penggunaan tanah di bawah HPL ke pihak ketiga diatur, dengan menekankan pentingnya perjanjian tertulis. Kerangka hukum ini memastikan prosedur dan kondisi yang jelas untuk pemberian hak atas tanah di atas HPL, memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat.

    Batas Waktu HGB dan Perpanjangan

    Pasal 37 dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan memiliki batas waktu tertentu. Secara spesifik, HGB ini berlaku selama 30 tahun sejak diberikannya hak tersebut. Kendati demikian, ada kemungkinan perpanjangan HGB dengan batas waktu tambahan hingga maksimal 20 tahun. Proses perpanjangan ini memungkinkan pemegang HGB untuk terus memanfaatkan dan mengelola tanah tersebut setelah periode awal berakhir. Penting untuk dicatat bahwa perpanjangan HGB dapat dilakukan dengan prosedur tertentu dan memerlukan persetujuan dari pihak yang berwenang. Seiring dengan itu, pemerintah juga memberikan opsi untuk memperbarui HGB, yang dapat dilakukan untuk jangka waktu maksimal 30 tahun, memberikan fleksibilitas kepada pemegang HGB dalam mengelola aset tanahnya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

    Proses Perpanjangan dan Persetujuan HPL

    Pada Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (PP 18 Tahun 2021) disebutkan pemohon dapat mengajukan perpanjangan setelah tanah digunakan sesuai tujuan pemberian hak atau sebelum berakhirnya masa HGB maksimal 2 tahun sebelum masa berlaku HGB berakhir. Bagi Sertifikat Satuan Rumah Susun dalam bentuk HGB diatas HPL dapat diberikan bersamaan dengan perpanjangan Sertifikat tersebut setelah memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Sehingga Sertifikat HGB di atas tanah HPL bisa diperpanjang dan diperbarui setelah mendapat SLF. Jangka waktu perpanjangan dan pembaruan HGB di Tanah Hak Pengelolaan dapat diberikan jika tanahnya telah digunakan sesuai dengan tujuan pemberian hak. Seluruh proses perpanjangan dan pembaruan ini wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan.

    Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) dapat diperpanjang atau diperbaharui melalui permohonan yang diajukan oleh pemegang HGB. Namun, proses ini harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pemegang HPL, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 PP 18 Tahun 2021. Dengan kata lain, perpanjangan atau pembaruan HGB di atas HPL harus melalui persetujuan pemegang HPL sebagai wujud kontrol atas pengelolaan tanah yang bersangkutan. Penting untuk dicatat bahwa meskipun pemohon HGB telah memperoleh persetujuan dari pemegang HPL, tidak dapat dijamin bahwa permohonan tersebut akan selalu disetujui. Jika pemegang HPL menolak memberikan persetujuan, maka jangka waktu HGB tidak akan diperpanjang atau diperbarui. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat [1] PP 18 Tahun 2021, yang menyebutkan bahwa salah satu alasan hapusnya HGB adalah berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya.

    Dalam hal HGB tersebut hapus, maka tanah yang bersangkutan akan kembali ke dalam penguasaan sepenuhnya dari pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat [1] PP 18 Tahun 2021.

    Pengakhiran HGB

    Berbagai keadaan dapat menyebabkan pengakhiran HGB, mengembalikan tanah tersebut sepenuhnya ke dalam kendali pemegang HPL yang bersangkutan. Keadaan tersebut termasuk berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, pelepasan sukarela, konversi ke hak atas tanah lain, pelepasan untuk kepentingan umum, dan ketidakmemenuhi syarat

    Persyaratan Administratif untuk Perpanjangan HGB

    Persyaratan administratif untuk perpanjangan HGB mencakup mengisi formulir di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), menyertakan surat kuasa jika melalui perwakilan, fotokopi KTP dan KK, akta pendirian badan hukum, serta menyertakan sertifikat asli. Juga termasuk izin pemindahan hak jika dicantumkan dalam sertifikat dan pernyataan bebas sengketa

    Langkah-langkah Proses Perpanjangan HGB

    Langkah-langkahnya melibatkan pengisian formulir perpanjangan HGB, menyertakan surat kuasa jika diperlukan, melampirkan fotokopi identitas pemohon (KTP/KK) dan identitas kuasa jika ada, yang telah diverifikasi keasliannya oleh petugas loket, dan menyertakan fotokopi sertifikat asli yang akan diperpanjang. Juga perlu melampirkan SPPT dan PBB, BPHTB, serta bukti pembayaran uang pemasukan pada saat pendaftaran hak. Perlu disertakan juga surat pernyataan bebas sengketa.

    Estimasi Biaya Perpanjangan HGB

    Untuk mengetahui estimasi biaya perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) dengan menggunakan rumus berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002. Prosedur perhitungannya sebagai berikut.

    • Bagi jangka waktu perpanjangan HGB dengan 30 tahun.
    • Hasil pembagian tersebut dikalikan dengan 1%.
    • Hasil tersebut kemudian dikalikan dengan selisih Nilai Perolehan Tanah (NPT) dan Nilai Perolehan Tanah Tidak Kena Uang Pemasukan (NPTTKUP).
    • Hasil perkalian tersebut kemudian dikalikan dengan 50%.
    • Nilai NPT dan NPTTKUP dapat ditemukan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) tanah yang akan diperpanjang sertifikat HGB-nya.

    Memahami kompleksitas Hak Pengelolaan Tanah dan proses perpanjangan HGB penting bagi pemegang tanah untuk menjelajahi lanskap hukum hak tanah di Indonesia. Mematuhi prosedur dan persyaratan yang ditetapkan memastikan proses yang transparan dan hukum yang kuat, mendorong pengelolaan dan pemanfaatan tanah yang bertanggung jawab. Guna penjelasan lebih detailya dan pendampingan hukum silahkan menghubungi kami. 

     

    (Law Firm Syamsul Munir & Partners)